RILIS.ID, Jakarta—
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid meminta Kementerian Agama menyudahi kontroversi seputar sertifikasi penceramah yang tidak produktif. Karena rencana sertifikasi, itu telah menimbulkan keresahan, polemik, dan memicu penolakan oleh masyarakat luas. Seperti, Muhammadiyah, MUI (Sekum), bahkan ditolak oleh Tokoh Non Muslim seperti Christ Wamena. Munculnya program yang kontroversial, itu menurut Hidayat, sangat tidak tepat, terlebih dilakukan di tengah keprihatinan bangsa yang sedang tertimpa musibah COVID-19. Kemunculuan program di tengah pandemi juga bertentangan dengan pernyataan Presiden Jokowi agar semua pihak fokus dan sibuk mengurusi covid-19.
“Sekalipun saya setuju untuk terus mengarus-utamakan ceramah dan laku Agama yang moderat/wasathiyah, tidak radikal/tathorruf, dan menghadirkan rahmatan lil alamin, mestinya Menag dan Kemenag memberikan keteladanan lebih dulu, bukan dengan mewacanakan sertifikasi. Apalagi program yang kontroversial itu juga menghadirkan keresahan sosial di kalangan Umat, dan tidak membantu menghadirkan penguatan imunitas untuk atasi COVID-19”, ujar Hidayat dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (7/9/2020).
“Lantas, bagaimana program ini bisa muncul dan dilaksanakan? Bagaimana legalitasnya? Siapa yang membiayainya? Untuk kepentingan apa dan siapa?”, ujar Hidayat.
Jika memang tujuan sertifikasi adalah untuk penyuluhan dan pembekalan, kata Hidayat selama ini Kemenag bekerja sama dengan MUI telah memiliki program pembekalan penyuluh. Sertifikasi penceramah yang demikian banyak apalagi melibatkan berbagai lembaga negara (BNPT, BPIP dll) juga bukan hal yang mudah dan murah, mengingat misalnya Kemenag dalam melakukan sertifikasi dosen dan guru saja masih memiliki banyak kendala dan masalah, apalagi dengan terbatasnya anggaran negara akibat merosotnya penerimaan pajak, dan kebijakan umum untuk realokasi anggaran agar difokuskan pada penanganan COVID-19.
HNW bahkan khawatir, pelibatan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dalam proyek sertifikasi ini akan memunculkan stigma radikal dan tidak pancasilais pada penceramah yang tidak bersertifikat. Padahal, tolok ukur sertifikasi ini sangat tidak jelas dan tidak pernah disosialisasikan/diuji-publik, untuk menghadirkan hasil obyektif yang dipercaya oleh publik/Umat. Sementara sejarah telah membuktikan para penceramah umat Islam (Ustadz, Muballigh atau Kiyai) selalu berada di garda terdepan dalam mencerahkan Umat untuk membela NKRI baik dari ancaman penjajah asing maupun pengkhianatan PKI. Kini, Menag bukan hanya melupakan sejarah itu, tapi justru akan menghadiahi para penceramah dengan label radikal, intoleran, dan tidak pancasilais, kepada para da’i dan penceramah hanya karena dianggap tidak lulus program untuk mendapatkan sertifikat penceramah/da’i, suatu hal yang tentu sangat menyakitkan hati umat Islam.
Anehnya, sekalipun begitu seriusnya Menteri Agama dengan wacana program sertifikasi hingga konon melibatkan MUI, BNPT, dan BPIP, Dirjend Bimas Islam malah menyatakan “program ini tidak punya konsekuensi apapun”. Bila benar demikian, seharusnya Kemenag tidak ngotot membuat program yang meresahkan umat dan ditolak banyak pihak itu. Apalagi program dan anggarannya belum pernah disampaikan dan disetujui oleh DPR.
”Harusnya program kontroversial dan tak produktif seperti ini, dibatalkan saja. Agar Menag fokus melaksanakan program kerja prioritasnya serta berkontribusi maksimal atasi COVID-19 melalui program-program di Kemenag”, tegas HNW.